Kerajaan
Pagaruyung didirikan oleh seorang peranakan Minangkabau – Majapahit yang bernama Adityawarman, pada tahun 1347.
Adityawarman adalah putra dari Mahesa Anabrang, panglima perang Kerajaan
Sriwijaya, dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang.
Sebelum
kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah
memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari
dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung
merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat
(Suku Minang).
Adityawarman
pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan
menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang
merupakan penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim
utusan ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya Adityawarman
berusaha melepaskan diri dari Majapahit.
Kemungkinan
Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas Adityawarman.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Jawa di
daerah Padang Sibusuk. Konon
daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan
di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Pengaruh
Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan ke-14, yaitu pada
masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan pada masa pemerintahan
Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan mereka
diperkirakan cukup kuat mendominasi Pagaruyung dan wilayah Sumatera bagian
tengah lainnya. Pada prasasti di arca Amoghapasa bertarikh tahun 1347 Masehi
(Sastri 1949) yang ditemukan di Padang Roco, hulu sungai Batang Hari, terdapat
puji-pujian kepada raja Sri Udayadityavarma, yang sangat mungkin adalah
Adityawarman.
Walaupun
demikian, keturunan Adityawarman dan Ananggawarman selanjutnya agaknya bukanlah
raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau
sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang dibantu oleh Basa Ampat Balai.
Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh [2], dan kemudian menjadi negara-negara merdeka.
Pengaruh
Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para
musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah
satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku
Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada
abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja
Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan
masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan
agama Islam. Papatah adat Minangkabau yang terkenal: “Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah”, yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada
agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada AI-Quran.
Ketika
VOC berhasil
mengalahkan Kesultanan Aceh pada
peperangan tahun 1667, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan
antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung
menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat
perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan adanya produksi emas di sana.
Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin
hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis
bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur
jenderal Belanda di Malaka.[3] Sejak saat itu mulailah terbina komunikasi dan
perdagangan antara Belanda (VOC) dan Pagaruyung.
Sebagai
akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon dimana Belanda ada di pihak Perancis, maka
Inggris memerangi Belanda dan berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat
antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles
mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi
peperangan antara kaum Padri dan bangsawan (kaum adat) Pagaruyung. Saat itu
Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan
yang terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda di tahun
1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan
ditanda-tanganinya Traktat London di
tahun 1824 dengan Inggris.
Kekuasaan
raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri,
meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke
dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir
selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada
raja Pagaruyung.
Pada
awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan golongan bangsawan (kaum
adat). Dalam satu pertemuan antara keluarga kerajaan Pagaruyung dan kaum Padri
pecah pertengkaran yang menyebabkan banyak keluarga raja terbunuh. Namun Sultan Muning Alamsyah
selamat dan melarikan diri ke Lubukjambi.
Karena
terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah,
yaitu kemenakan dari Sultan Muning Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat
lainnya menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada
Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu berperang melawan kaum Padri
dan Sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili pemerintah
pusat.
Setelah
menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan
kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa dan Maluku. Namun ambisi kolonial
Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan
mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei
1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan
Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan
Mangga Dua.
0 komentar:
Posting Komentar